Rabu, 15 Desember 2010

ADA KARET MESIN...???

Siang itu tidak panas, basah malah. Agaknya pendapat salah seorang teman saya kalau saya itu koleris-melankolis ada benarnya. Buru-buru saya menghapus bulir-bulir mata yang sudah siap jatuh itu setelah melihat samping kanan dan kiri saya.

Tidak ada satupun yang menangis! Padahal gigi saya sudah saling beradu menahan air mata supaya tidak keluar..

Siang itu, di teras sebuah rumah di Pundong Bantul, kami.. beberapa asisten penelitian dosen, bertatapmuka dengan para calon subjek penelitian kami..Para penca, alias: penyandang cacat.

Cacat akibat gempa.

Dan pertemuan itu yang membuat hati saya terenyuh. Dan riak-riak semangat yang mulai mengering ini...basah kembali karena mereka..Saya...ah. saya merasa jadi makhluk yang paling ga mutu rasanya.

Bincang-bincang siang itu lebih mirip forum curhat mereka pada kami..

“Ya.. kalau yang cacat habis gempa itu.. biasanya masih minder mbak, rasa mindernya jauh lebih gedhe gitu..”

Atau...

“Kalau saya sih wes ra minder atau malu-malu mbak. Tapi ya pekerjaannya yang serabutan, lha wong cacat begini. Ya ndak bisa seperti dulu lagi. Ndak bisa kerja di tempat saya dulu kerja.”

Tapi ada satu kisah yang memicu air mata saya jadi tumpah ruah dan ‘sentrap-sentrup’ mendadak “flu” (baca: ingusan). Seorang bapak bercerita tentang pengalamannya, mencari karet sebauh mesin di sebuah jalan panjang di Jogja. Sebuah jalan besar yang samping kanan-kirinya banyak jual perkakas mesin dan motor di Jogja. Begini beliau bercerita:

“Waktu itu mbak.. saya sudah cacat, dan sudah pakai kruk (alat bantu jalan). Pas itu.. saya baru sampai depan etalase, baru mau tanya itu....eh tiba-tiba sudah ada pegawai tokonya yang deketin saya. Saya baru saja mau buka mulut dan bilang..”ada jual karet mesin ini...” tapiii walahhh... bukannya sempet ngomong, tangan saya malah dipegang dan dirogohi (dikasi)...RECEHAN. Saya meringis sendiri..ha..Lalu saya bilang, “nuwun sewu mas..kulo mboten pengemis, nanging arep tuku karet mesin...” (permisi mas, saya bukan pengemis..tapi mau beli karet mesin..) lalu singkat cerita mas-mas yang ngasi recehan tadi buru2 minta maaf dan mencarikan karet mesin yang diminta Bapak itu.

Hupfh..

Tahukah kawan, cobaannya tidak hanya sampai di situ...Barang yang dicari sang bapak tidak ada, katanya karet mesin jenis itu memang agak susah dicari. Alhasil bapak itu, dan tentu saja dengan kruknya, berjalan penuh payah daris satu toko ke toko yang lain, di sepanjang jalan XX itu.

Dan tahukah apa yang terjadi...

Semuanya.

Semua toko yang beliau masuki hingga ujung jalan sana.., berlaku hal yang sama.

MEROGOHI BELIAU DENGAN RECEHAN!

Astaghfirullah...saya menahan napas saat mendengar cerita beliau.

“elah mbak.. paling rupo (wajah) saya ini emang mbakat kayak pengemis yaa, apalagi pake kruk segala..hahaha.”

Tik..tik... Dan saya menangis.

“eh tapi mbak... saya sudah biasa begitu. Diperlakukan begitu ya sudah tidak apa-apa. Lha memang begini adanya to..mau bagaimana. Paling ora.... berarti podo mesakke, tur isih peduli karo wong-wong kaya ngene...(berarti masih pada kasihan dan peduli sama orang2 kaya gini).”

Dan bapak itu menambahi lagi kata-kata bijaknya..

“Tau ndak mbak, kalau uang2 itu saya kumpul.. ada lho sampai 50 rb! Lumayan juga tho.haha. Tapi saya nggak mau menerima. Nanti jadi terbiasa begitu. Saya bukan pengemis. Saya masih bisa berbuat banyak. Nggak mau hidup dari yang seperti itu...”

Haaaaaaaaaaaaahhhh... saya maluu..... sungguh!

Tiba-tiba saya ingat. Andaikan Gayus dan kawan2 bejatnya yang korup itu dengar! Betapa nilai kemanusiaan mereka, berada di level yang jauuuhhhh dari si bapak yang cacat ini!
Yang bahkan tidak mengenyam pendidikan di kampus2 favorit seperti mereka..

Kampus mereka adalah hidup ini. Idealisme mereka tidak runtuh gara-gara dunia!

Dan siang itu, aku melihat para pahlawan bangsa. Yang masih memperjuangkan nilai kemanusiaanya. Yang masih menghormati Tuhannya, dengan bersyukur.. atas segala kebaikan... dan bahkan kekurangan yang diberikan Tuhannya.

Yang tidak melulu mengeluh meski sudah berpeluh.

Yang tetap tersenyum, dan tertawa lepas... MENGHADAPI ANUGERAH HIDUP DARI SANG PENCIPTA

“bahagia itu.. saat kamu bisa menerima dan merasa cukup dengan segala yang ada di dalam hidupmu..”

“ dan Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan........”


SATU TAHUN YANG LALU.....

“Begitu mbak.. menurut mbak bagaimna?” tanyaku pada seorang mbak-mbak tentang sebuah permasalahan di suatu sore, usai rapat PH kampus.

Lalu mbak itu pun menjawab, “tahu nggak husni.. pertanyaan ini pernah anti sampaikan..satu tahun yang lalu... Ingat??”

JDERRRR,....!!!

Saya bagai disambar kilat.

“masa sih mbak...?” tanyaku separuh menyangkal.

“Iya...apa kasus ini dengan orang yang sama...?” kata si mbak.

“Nggak tau mba..husni bener2 lupa. Mmm.. kayaknya beda kok. ” jawabku, tak yakin.

“sudahlah husni...jika memang dia memilih begitu, dan sangat susah berubah.. ikhlaskan saja. Hidayah itu tetep Allah yang kasih, kita cukup berusaha, berikhtiar.. Energi dan pikiran kita akanhabis untuk memikirkannya. Dan malah adik2 lain yang harusnya juga dibina, malah jadi nggak terarahkan...”ujar si mbak dengan rada serius.

Dan saya hanya bisa terdiam. Sibuk dengan pikiran satu tahun yang lalu. Apa iya.. aku bertanya tentang orang yang sama...

Kalau iya, berarti selama satu tahun ini, tidak ada perubahan padanya....

Atau,

Kalaupun toh aku bertanya tentang orang yang berbeda, maka berarti temanku yang q tanyakan itu..kini kondisinya sudah seperti salah seorang temanku, yang sudah jauh dan meninggalkan jalan indah dakwah ini. Satu tahun yang lalu.

Dan pikiran-pikiran tentang itu membuatku semakin tak bisa melepaskannya.

Dan tak pernah ingin melepasnya.

Teruntuk saudariku di sana, tahukah kau, doaku selalu. Selalu untukmu. Bahwa kita bisa bergandengan erat, dengan senyum pasti, meniti jalan cinta ini....

Karena aku berperasaan kuat. Bahwa kau calon orang hebat. Kau hebat kawan! Kau istimewa. Dan karenanya.. aku tidak akan pernah mengalah pada setan dunia. Apa saja, apa yang bisa. Akan kulakukan, untuk terus mengajakmu, meniti jalan cahaya ini.

–Rumah cahaya 17/12/2010-

It's called a TEAM...!

Menjadi koordinator dalam sebuah kegiatan psikososial bukan suatu hal yang mudah tapi gak susah2 banget juga. Di situ aku bener2 belajar yang namanya ‘membaca orang’ dan ‘memfasilitasi tim’.

Dan tentu saja, belajar menjadi orang yang selalu update dengan hape.

Wuh, ini yang paling susah!-.-“

Mengingat track record saya yang suka ‘meninggalkan hape di sembarang tempat’ membuat saya sedikit kesulitan untuk cepat bales sms apalagi angkat telp.

Dan mungkin itu alasan yang tepat bagi mereka untuk melempari saya dengan uang (baca: sendal)!haha. seribu maaf dah!

Nah, balik lagi ke tim. Hal yang harus kita yakini saat berada dalam tim, atau membentuk sebuah tim yaitu menerima kesempurnaan individu dengan lapang hati. Bukankah manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah? Jadi positive thingking lah dulu pada anggota tim kita. Tim ada bukan untuk memaksa seseorang berbuat seperti yang dimaui salah satu pihak. Bukan karena paksaan supaya berbuat lebih, atau malah dituntut dan lain2.

Apalagi sebuah tim relawan, mereka ada karena keinginan masing2. Kerelaan tiap individu, dan itu patut dan harus dihargai. Kesamaan kerelaan itu setidaknya memberi sebuah ikatan kebersamaan dalam sebuah tim. Maka jangan sampai kita merusak sisi natural sebuah tim relawan dengan paksaan ini dan itu. Dengan doktrin kegiatan ini dan itu. Kalau lah saya menjadi seorang koordinator, maka tidak seharusnya saya mencekoki mereka dengan program yang saya pikirkan. Berdayakan makhluk sempurna itu. Mereka punya otak. Mereka berpikir, mereka merasa. Jadi berdayakan mereka, atau kalau mau ambil istilah psikologi yaitu ‘empowerment’. Penguatan satu sama lain. Ini lebih humanis.

Heu. Tapi menjadi seorang yang diktator adalah godaan besar dalam sebuah koordinasi tim. Ego saling muncul tenggelam untuk memenuhi kebutuhan id akan eksistensi. Dan gara2 satu kata itu, ‘eksistensi’ bisa menghancurkan sebuah tim. Bisa terjadi jika tidak ada upaya empowerment eksistensi semua anggotanya.

Maka.

Menjadi eksis dan tampil menurut saya bukan lah suatu keharusan dalam sebuah amal jama’i. Yang paling penting itu kebersamaannya menurut saya. Penguatan satu sama lain. Kalo mo eksis sendiri lalu buat apa sebuah tim ada.

Ada jabatan2 yang memang menuntut seseorang tidak menjadi eksis secara ‘publikasi’ sehingga kerja2 nya tersembunyi.

Ada yang memang selalu tampil dan ‘terpublikasi’ oleh mass media. Kebanyakan milih peranan yang kedua (kalo saya lihat2 sepanjang sejarah organisasi yang sering saya ikuti sih). Hal2 sepele kayak jadi sie acara adalah salah satunya. It seems like sie acara adalah yang paling tinggi gradenya dibanding sie2 lain. Yah begitu pendapat temen2 saya tiap ngomentarin orang lain yang jadi seksi acara. Kata mereka:”pasti orang penting deh”. Miris deh hati ini mendengarnya.

(bersambung..=.=)

Sabtu, 11 Desember 2010

CV UNTUK ALLAH

Adalah kaget ketika pikiran itu terlintas dibenakku. Tiba2 jantungku berdebar lebih keras mengingatnya. Betul.. kupandangi lembaran2 itu, penuh terisi. Mulai dari prestasi, penelitian, organisaisi, seminar, karya tulis, pengabdian..heran sendiri melihat kolom2 itu sudah penuh. Tapi bukan formulir pendaftaran mawapres ini yang membuatku kaget, dan membuat jantungku berdebar lebih keras. Tapi karena aku ingat, lalu... akan seperti apa CV yang akan ku berikan pada-Nya....akan kah penuh terisi seperti ini, ataukah justru aku bingung apa yang harus ditulis. 

Seandainya kolom penelitian diganti hafalan Al-Qur’an... bisakah tertulis 30 juz disana...Andaikan kolom penyaji materi diganti menjadi dakwah, bisakah tertulis penuh disana.. Andaikan kolom menjadi pantia adalah kolom amalan sunnah.. apakah aku benar2 totalitas dalam melakukannya????????????????????????

Lagi2...

Kita mudah dibuai perkara dunia ini. Lagi-lagi.

Selasa, 07 Desember 2010

MELEPAS MAKNA

Melepaskan makna diri kita.

Kita bermakna ratusan kawan. Aku diri, aku sosial.

Kita bermakna ribuan... aku sahabat, aku mahasiswa, aku dosen, aku pejabat. Kita bermakna banyak kawan, dan karenanya kita sering lupa. Apa makna hakiki kita yang sesungguhnya!

Banyak yang saking banyaknya punya makna, justru jadi bingung siapa sesungguhnya dia. Gara-gara terikat makna kita jadi tidak bisa bersikap seperti fitrah kita. Fitrah kebaikan kita.

Tak sedikit orang yang merasa dilecehkan karena tidak bisa bebas dari makna yang menempel pada dirinya. Banyak yang punya masalah, gara2 ego nya tidak bisa mengalah pada makna.

Tidak sedikit orang yang harus takluk pada rezim gara2 tidak sanggup melepas makna!

Melepas makna menjadikan kita tawadhu... dan selalu merunduk layaknya padi yang sudah menguning.

Mari belajar pada Rosulullah manakala beliau ditegur Allah akibat tak menghiraukan Abdullah bin Ummi Maktum. Beliau akhirnya melepaskan makna ‘pemimpin kaum Quraisy’ pada petinggi2 kaum kafir Quraisy yang sedang diajak mengenal Islam kala itu. Beliau sadar.. tetap saja, Abdullah bin Ummi Maktum adalah sama2 manusia yang punya hak sama untuk bertanya, dimana saja, tidak lantas menjadi di bawah karena bukan seorang petinggi negara. Tidak lantas menjadi prioritas kedua karena dia orang biasa. Ya.. Rasulullah bersikap adil pada siapa saja. Tidak pilih2.

Atau meniru Ustadz Rahmat Abdullah.... yang tetap jalan kaki... lantas naik angkot ke gedung DPR manakala beliau duduk di panggung wakil rakyat itu. Yang mau2 saja pergi naik angkot saat harus menjadi pembicara di tingkat nasional karena tak ada yang bisa menjemput.

Atau pada orang-orang hebat lain..

Begitu lah seharusnya kita bisa. Banyak sekali orang merasa harusnya diperlakukan seperti ini, seperti itu.. karena makna yang melekat pada dirinya. Karena ia dosen lantas harus diantar jemput oleh mobil. Karena ia pejabat maka tidak mungkin naik angkot. Karena ulama maka harus diciumi tangannya, karena mahasiswa maka bebas berkoar-koar sesukanya! Karena aktivis lantas merasa yang pasif itu apatis..! Hey.. mudah sekali kita menilai orang dari makna2 luarnya. Mudah sekali kita merasa pantas dan layak diperlakukan lebih akibat makna yang terus2an kita perjuangkan.

Aneh.

Kita ya kita. Makhluk Allah dengan segala kekurangan-kelebihan-kesempurnaan ciptaan-Nya. Lantas mengapa kita tidak bisa merasa SAMA untuk beberapa kali saja. Kita sama2 makhluk-Nya. Derajat kita sama dihadapan-Nya. Taqwalah yang membuat beda. Itu saja cukup menjadi alasan kita untuk tidak merasa serba lebih pantas.

Mari belajar melepas makna sekejap saja. Atau untuk waktu yang lama