Sabtu, 12 Maret 2011

:(

GOD.
I really confused.
may I peep at my destiny.

GOD
Help me to choose.....

hiks. istikhoroh is the best way!
SMANGAAAATTTTTTT..>.<

Jumat, 04 Maret 2011

Sibukkan Aku dengannyaa....


Iman kita naik turun, begitu kata Rasul.

Dan tiap2 kita punya cara yang berbeda untuk menaikkan voltase iman kita. Dan hal ini juga berlaku dalam hal satu ini”". Menghafal Qur’an. Ada masa menggebu-gebunya, dan tentunya ada masa males-malesnya(ampuuun deh kalo dah begini).

Dan salah satu kiat buat saya yang cukup manjur adalah dengan membaca buku2 tentang keutamaan menghafal Qur’an. Salah satunya buku ini-yang sangat saya rekomendasikan untuk dibaca- . Buku dengan judul “Anda pun Bisa Menjadi Hafidz Al-Qur’an” buku karya Ust. Abdul Aziz Abdu Ra’uf, Al-Hafidz, Lc, yang sekarang mengelolam MARKAZ AL-QUR’AN di Jakarta.

Salah satu sub bab yang sangat ‘menyentil’ adalah bagian “Sibukkan Dirimu dg Al-qura’an”. Diawali dengan sebuah fakta yang menyesakkan ‘yah, bukankah ini yang selama ini terjadi pada aktivis dakwah, saking sibuknyaa dengan agenda ini itu..hingga sangat kesusahan menghafal Qur’an’..duh Gusti, miris ga sih di bilangin gitu.T.T

Jadi jika kita memutuskan untuk menghafal Qur’an, maka yang harus diingat adalah KITA HARUS SIAP MENYIBUKKAN DIRI DENGAN AL-QUR’AN. Menghafal Al-Qur’an 30 juz tidak bisa diraih dengan waktu sia-sia. Seperti hadits berikut:

“Bermu’ahadahlah (intensifkan dirimu) dengan Al-Qur’an! Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya , sungguh Al-Qur’an itu lebih cepat hilangnya daripada tali ikatan onta.” (HR Bukhari dan Muslim).

Berapa waktu yang harus diberikan oleh seorang penghafal Al-Qur’an dalam kesehariannya?

KURANG LEBIH MINIMAL 3 JAM SEHARI.

Lalu mari kita lihat betapa hebatnya orang-orang di bawah ini:

Rasulullah, sholat malamnya selalu panjang, sehingga otomatis kebersamaannya bersama Al-Qur’an selama berjam-jam

Abdullah bin Amr Al Ash, selalu mengkhatamkan Al-Qur’an tiga hari sekali, dari masa mudanya sampai masa tuanya.

Ustman bin Affan, sepekan sekali selesai membaca 30 juz. Sepanjang hayatnya.

Umar bin Khatab selalu mengisi waktu perjalanannya dengan membaca Al-Qur’an.

Abu Hanifah an Nu’man bin Tsabit sepanjang hidupnya 7000 kali khatam Al-Qur’an.

SUBHANALLAH..

Mungkin kita belum bisa sehebat itu, mungkin kita merasa hal-hal di atas terlalu ekstriim. Tapi begitulah adanya, itu benar terjadi dan mungkin terasa ‘biasa’ saja untuk ukuran jaman dahulu. Untuk kita saja terasa sangat ‘lebay’ karena memang mungkin kita yang jauh dari hal-hal menghafal Al-Qur’an.

Tapi ada perlunya kita tahu hal-hal seperti di bawah ini.

Maka di kalangan orang-orang hebat ini terkenal istilah khodiin (teman akrab), maksudnya AL-Qur’an selalu menjadi teman akrab mereka sepanjang hidupnya. Mengapa sikap ini menjadi ‘ciri khas’ orang-orang beriman terdahulu?

1. Berinteraksi dg Al-Qur’an membutuhkan kecintaan yg tinggi terhadapnya. Agar menumbuhkan rasa cinta ini..harus ada hubungan yg intensif dengan Al-qur’an

2. Memberi waktu yang banyak utk Al-Qur’an akan bermanfaat untuk mengatasi futur yang menimpa para penghafal.

3. Memprioritaskan Al-Qur’an dari sekian banyak agenda harian kita. Sehingga sesibuk apapun Al-Qur’an akan tetap mendapat jatah waktu untuk diakrabi. Mereka yang berlindung di balik kesibukan yang padat dan terbiasa kehabisan waktu untuk Al-Qur’an, adalah orang-orang yang tidak menempatkan Al-Qur’an sebagai prioritas nomor satu dalam kehidupannya. Logikanya begini, ketika makan menjadi prioritas, maka sesibuk apapun akan tetap ada waktu untuk makan. Maka sungguh alangkah mulianya bila seorang mukmin mampu memprioritaskan Al-Qur’an sebagaimana dirinya memprioritaskan Al-Qur’an.

Yah...semoga kita kembali disibukkan dengan Al-Qur’an. Tidak dengan syuro, makan, baca novel terus menerus (bca novel sih boleh-boleh saja), atau sibuk mikirin mau up date status apa di Fb.heu.

Smoga Allah memilih kita menjadi salah satu penjaga Al-Qur’an dengan hafalan yang kita miliki...AMINNNNN

MENJADI TIDAK TAHU ITU......

Tahukah kawan hal terberat dalam hidup ini menurut saya adalah ketika kita sudah tahu.

Tahu. Dan kita tetap meragu terhadap segala sesuatu.

Tahu . Dan kita tetap bimbang tak mau berjuang.

Tahu. Dan kita tetap diam berharap ada orang lain yang meneyelesaikan.

Pagi itu saya kembali tersadar. Dengan husni di semester 2 yang lagi malu-malunya ikut halaqoh dan belajar mengenakan rok, berhenti pake jeans, snikers, dan jamper favoritnya. Dengan husni yang di semester 3 yang suka ke Ihya dan liat2 jilbab besar dan macam2 deker, dan hunting baju yang agak panjang. Dengan husni yang di semester 4 yang malu setengah mati untuk pake gamis ke kampus, dan akhirnya terlaksana meski dapat komentar dari mana-manaJ. Tentang husni semester 5 yang penuh dengan semangat dan heroik hidup di sebuah desa di pelosok Minang, mandi di kali, buang air di kali, belajar di tengah sawah...ahh indaaah sekali. Tentang husni di semester 6 yang tergila-gila pada Al-Qur’an...

Kilasan-kilasan memori itu...buat saya terenyuh. Betapa semua ini, kondisi sekarang ini...tidak terjadi dengan instan. Ada proses pahit, senang, yang sangaat panjang..dan akhirnya membawa saya pada fase ini, pada pemahaman ini. Ada gejolak, dilema dan banyak pertentangan batin lain yang akhirnya membuat saya memilih ini dibanding segalanya.

Dan apakah setelah sedikit ‘tahu’ saya justru berpaling. Dan setelah sedikit ‘tahu’ saya justru melanggar. Dan setelah sedikit ‘tahu’ saya justru beralasan. Dan setelah sedikit ‘tahu’ saya justru bermalas-malasan.

Terkadang menjadi sedikit ‘tahu’ membuat orang-orang lalai dan seakan-akan benar-benar sudah ‘tahu’. Kadang terlalu sering berwacana buat kita merasa sudah beraksi nyata. Padahal itu semua fatamorgana. Tidak terjadi apa-apa. Yang ada hanya wacana tanpa realita.

Saya jadi teringat kisah seorang imam yang baru memulai belajar disaat usianya di atas 50 tahun. Ia tidak benar-benar baru mulai belajar. Ia sudah belajar ini itu, banyak sekalii..tapi yang ‘banyak’ itu justru tidak membekas pada dirinya. Ia mulai tersadar saat hari itu tiba, saat dimana sebuah batu pecah akibat tetesan air yang terus menerus menetes dan melubangi batu itu. Ia amati batu itu, sedari masih bulat. Tes..tes.. dan tetesan air yang kecil-kecil...akan tetapi teratur itu mulai melubangi satu sisi batu itu... Tes.. tes... dan dari tetesan air yang kecil-kecil akan tetapi terus menerus itu membuat lubang yang lebih besar lagi.. tes..tes.. dan tetesan air yang kecil-kecil itu berhasil memecahkan sebuah batu. Bletak!!!

Terpecah. Benar2 pecah. Dan sang Imam begitu terkesima melihatnya. Bagaimana bisa...hanya tetesan air saja..sedikit2..kecil...bisa membuatnya terpecah...

Dan kisah itu menjadi titik balik sang Imam, bahwa yang sedikit2...akan tetapi teratur dan terus menerus pun akan bisa menghasilkan sesuatu.

Dan saya jadi sadar... untuk menilik kembali lembaran2 hidup saya baru2 ini, yang ga fokus, yang terlalu rakus, yang terlalu tinggi...sehingga saya lupa pada esensi untuk harus memahami.MEMAHAMI. tidak sekedar melakukan. Memahami sehingga kita bisa memberi makna padanya. Sehingga yang saya lakukan ada segi manfaat bagi orang di sekitar kita.

Dan saya sangat kangen pada masa-masa ‘sedikit-sedikit tapi teratur’ dulu. Masa-masa awal mengenal tarbiyah.. dan benar2 mencintainya. Pada masa saat saya ‘sedikit-sedkit tapi terus menerus’....

Dan menjadi tidaktahu akan memberi kita berjuta ilmu. Hadapkanlah diri kita menjadi 'orang yang tidak tahu' saat bertemu orang, mendengar cerita seseorang.

Semoga ilmu yang kita cari, bisa benar2 beri arti dan hikmah dalam kehidupan ini. Tidak sekedar sebuah teori dan wacana sang pemimpi.

God. Thanks for reminding me to those moments. Thanks for always loving me with Your extraordinary way...Thanks for always pulling me from the dark.

ALLAH........ijinkan aku sebenar-benarnya mencintaiMu....

-kamar baru, semangat baru-

*wahai yang disana, terimakasih telah mengenalkanku pada jalan ini, jazakillah amah............*