Melepaskan makna diri kita.
Kita bermakna ratusan kawan. Aku diri, aku sosial.
Kita bermakna ribuan... aku sahabat, aku mahasiswa, aku dosen, aku pejabat. Kita bermakna banyak kawan, dan karenanya kita sering lupa. Apa makna hakiki kita yang sesungguhnya!
Banyak yang saking banyaknya punya makna, justru jadi bingung siapa sesungguhnya dia. Gara-gara terikat makna kita jadi tidak bisa bersikap seperti fitrah kita. Fitrah kebaikan kita.
Tak sedikit orang yang merasa dilecehkan karena tidak bisa bebas dari makna yang menempel pada dirinya. Banyak yang punya masalah, gara2 ego nya tidak bisa mengalah pada makna.
Tidak sedikit orang yang harus takluk pada rezim gara2 tidak sanggup melepas makna!
Melepas makna menjadikan kita tawadhu... dan selalu merunduk layaknya padi yang sudah menguning.
Mari belajar pada Rosulullah manakala beliau ditegur Allah akibat tak menghiraukan Abdullah bin Ummi Maktum. Beliau akhirnya melepaskan makna ‘pemimpin kaum Quraisy’ pada petinggi2 kaum kafir Quraisy yang sedang diajak mengenal Islam kala itu. Beliau sadar.. tetap saja, Abdullah bin Ummi Maktum adalah sama2 manusia yang punya hak sama untuk bertanya, dimana saja, tidak lantas menjadi di bawah karena bukan seorang petinggi negara. Tidak lantas menjadi prioritas kedua karena dia orang biasa. Ya.. Rasulullah bersikap adil pada siapa saja. Tidak pilih2.
Atau meniru Ustadz Rahmat Abdullah.... yang tetap jalan kaki... lantas naik angkot ke gedung DPR manakala beliau duduk di panggung wakil rakyat itu. Yang mau2 saja pergi naik angkot saat harus menjadi pembicara di tingkat nasional karena tak ada yang bisa menjemput.
Atau pada orang-orang hebat lain..
Begitu lah seharusnya kita bisa. Banyak sekali orang merasa harusnya diperlakukan seperti ini, seperti itu.. karena makna yang melekat pada dirinya. Karena ia dosen lantas harus diantar jemput oleh mobil. Karena ia pejabat maka tidak mungkin naik angkot. Karena ulama maka harus diciumi tangannya, karena mahasiswa maka bebas berkoar-koar sesukanya! Karena aktivis lantas merasa yang pasif itu apatis..! Hey.. mudah sekali kita menilai orang dari makna2 luarnya. Mudah sekali kita merasa pantas dan layak diperlakukan lebih akibat makna yang terus2an kita perjuangkan.
Aneh.
Kita ya kita. Makhluk Allah dengan segala kekurangan-kelebihan-kesempurnaan ciptaan-Nya. Lantas mengapa kita tidak bisa merasa SAMA untuk beberapa kali saja. Kita sama2 makhluk-Nya. Derajat kita sama dihadapan-Nya. Taqwalah yang membuat beda. Itu saja cukup menjadi alasan kita untuk tidak merasa serba lebih pantas.
Mari belajar melepas makna sekejap saja. Atau untuk waktu yang lama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar