Tampilkan postingan dengan label concealed. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label concealed. Tampilkan semua postingan

Jumat, 15 Mei 2009

Disputation*

I remember times when the inner disputation

was quiet fierce (to pursue the game or sign

a full stop to pain). The call was mine-

Or so it seemed. Each voice a singular temptation:


The beguiling cries of longed for rest,

The easeful quiet, the total peace

-what a boon!-finally to cease

The struggle; to know that nothingess is best.


But then, from the barely bubbling sieve

Of my active self, a tired but urgent call

To return to habit n duty; reluctantly to fall

Again into pain n heartache- n to live.


Oh soul! Thou then stood on an isthmus break

n heard, in separate ears, Aegean n ionian wave.

Which sea? To drown, or combers once again to brave?

The vital choice was solely mine to make






Have ever you felt like that poem? And yah, I am now.

(cited in book “The Suicidal Mind”)

Selasa, 28 April 2009

JUNI

Matahari sembunyi

Hanya siluet-siluetnya menembus ranting pohon

Awan hanya putih

Aku ingin yang biru

Aku ingin berwarna

Mengapa selalu terang


Viskositas tingkat tinggi

Embun enggan enyah dari daun teratai

Kodokpun dibawah teratai


Ayo keluar!!

Temani aku duduk di sini...


Dan lebah-lebah madu semakin manis

Semanis coffemix malam ini

Tapi sendoknya pahit


Hmmmmhhhhh..................................

Aku benci bulan Juni



*Astaghfirulloh......*


SINS

Denting-denting piano lembut. Indah sekali seperti suara nyanyian ikan di air. Hmm. Segar, bebas. Tapi hilang!!!! Drum itu menyalak-nyalak seperti suara guruh. Aneh....Tak ada satupun yang risau. Tak ada. Namun setitik noktah terlihat semakin jelas. Sesosok manusia bersandar di pintu berkarat. Keningnya berkerut dan terus berkerut mengajak seluruh wajahnya kecut. Sebuah dosa terjadi dan tak seorang pun peduli. Dan ia hanya tersenyum sinis. Menusuk pecah embun yang enggan bertengger di kelopak-kelopak bunga. Matanya tertuju pada paradoks menyedihkan diseberang jalan. Seorang tua menggenjot sepeda yang dengan tanpa dosa menghisap jutaan nikotin di selip jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya. Bersepeda tak berarti kalau jutaan sel saraf kita mati. Aneh. Dan lagi. Suara gaduh itu hilang. Interlude sesaat. Berganti sesuatu yang lebih hitam. Kelam. Suaranya seperti meteor jatuh ke bumi.


Drummmnbbbbbbb. Keras sekali.....!!! Menggetarkan pijakan kaki para petani di sawah. Apa yang terjadi??? Lapisan eror manusia bertumpuk. Dan malaikat Atit terus mencatat. Meteor itu benar-benar jatuh!!! Batu-batu kerikilnya mencuat. Menampar Anthurium yang menangis kesakitan. Sang surya pun enggan membantu. Hanya mengintip dari balik abu-abu awan nimbus yang bersiap menurunkan hujan. Pohon-pohon Taiga pun bersorak kegirangan akan mendapat banyak makan.


Denting-denting piano muncul kembali. Nadanya naik turun. Seperti suara kaleng rombeng dijadikan bola tenis. Dan manusia itu masih termenung dengan muka asamnya. Berharap ribuan cahaya berkelibatan menerpanya. Tapi percuma. Lilin saja sudah leleh, api tak dapat hidup. Gelap. Tak ada cahaya. Hanya denting piano yang egois.


Dan sang piano rusak. Berhenti menyampah. Si manusia tersenyum senang. Namun tak lama. Karena siang ini sudah sangat kacau. Burung-burung tak sanggup mengepakkan sayapnya. Mereka asyik angkrem disarangnya. Berharap monyet membawakan makan ke atas pohon. Hanya tukang batu yang senang. Kaya mendadak. Kapur berganti marmer dalam hitungan menit. Tapi manusia itu geram. Ia sudah tak tahan. Ia ingin menyumpah serapah karena terbentuknya podzolit di bumi ini. Ia ingin menghentikan tenis kaleng rombeng yang memekakkan telinga. Ia ingin menyervis piano yang tak becus itu!


Tapi sayang. Kegelapan dan kelam menyatu. Manusia itu disembunyikan alam. Tak peduli telah berteriak. Bayangnya pun tak tampak. Hanya suara kalbu yang menggema dengan kerasnya seakan ada speaker besar di tiap kutub bumi. Hatinya berteriak lantang. Dan Ia yakin, bahwa Allah Maha Tahu segalanya. Eternally.