Jumat, 24 Juli 2009

HOW OFTEN YOU INDOCTRINATE YOUR FRIEND???

Adalah sebuah pertanyaan yang sering saya pikirkan. Apakah pertemanan yang selama ini kita lakukan too much interfere teman kita? Apakah sebenarnya mereka nyaman dengan masukan yang kita berikan? Atau mereka hanya 'menyamankan diri' dengan segala comment yg kita ucapkan? Karena kita teman, karena status pertemanan. Masalah ini tidak gawat seandainya si teman akan think twice dengan yang kita katakan, atau kita simpulkan. Benarkah aku begitu, dsb,. Tapi masalah akan muncul saat teman kita begitu mempercayai kita, dan menjadikan perkataan kita sebagai tolak ukur perbuatannya. Dan ini berarti kita adalah salah seorang yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kepribadian teman kita. Kita yang membentuknya, terkadang, tanpa kita sadari.

Mengapa ya manusia senang mendoktrin, ehm rasanya diksi mendoktrin terlalu ekstrim, ok, mungkin akan lebih soft kalau kita ganti jadi men-judge seseorang.

Sejak masa kanak-kanak lho! Misalnya: “Ah...dedek nih nakal banget toh, kan udah mama bilang..blablabla...”, atau “tuh kan..apa juga kakak bilang, makanya hati-hati, teledor banget sih...” dan beragam ucapan yang secara psikologis sangat tidak meningkatkan daya kreatifitas. Terlalu sering kata 'pokoknya', 'jangan', 'kok gitu..','makanya', dan kata-kata lainnya digunakan oleh orang yang lebih tua sebagai bentuk pengejawantahan kekuasaan mereka akan diri kita, the weaker actor. Sayangnya hanya segelintir orang yang menyadarinya dan mematikan perasaan anak-anak mereka dengan kata2 'indah' itu.

Saya melihat bahwa budaya men-judge seseorang ini teramat kuatnya tertanam dalam diri kita. Alhasil, budaya ini terbawa bahkan hingga kita sudah berteman, dan sadisnya; kita melakukan dosa yang sama terhadap teman kita.Ugh.

Menurut saya....generally, ajang hujat-hujatan ini terbagi menjadi dua. Direct judgement, dan indirect judgment. Direct judgement sering kita temui saat saling bincang, saat curhat, de el el. Take one example, saat curhat kadang kita sering memaksakan value kita pada teman kita, lebih buruknya lagi men-judge mereka sedemikianrupa. Ah... curhat yang seharusnya menjadi ajang pengurangan stress justru sebaliknya membuat teman kita menemukan insight yang salah. Curhat bagi saya seharusnya netral, tak ada personal interfere dalam ranah itu. Maksudnya, kita tidak bisa merasa objektif dengan penilaian kita. Kita tidak bisa serta merta berempati hanya dengan membayangkan bagaimana bila kita berada di posisi yang sama dengan teman kita. Tidak bisa. Kita pribadi yang beda. Karena begitu banyak value yang tertanam sejak lahir yang mungkin berbeda satu sama lain. Ok, sometime bisa sih, tapi hanya saat-saat tertentu saja, saat dimana kita 'kebetulan' memiliki paradigma yang sama dengan teman kita. Haha, saya jadi ingin tersenyum sendiri saat saya berusaha menanggapi curhatan teman saya dengan berbagai komentar, sok-sok ngasi solusi. Padahal solusi itu sendiri sangat subjektif. Ah, tapi jangan salahkan diri kita yang sudah mau bersusah payah memikirkan yang terbaik bagi teman kita, hanya saja kadang kita tak perlu memberi begitu banyak komentar, terlebih men-judge mereka begini atau begitu. Mendengar adalah cara terbaik untuk mengurangi subjektivitas penilaian kita saat curhat. Ini adalah langkah awal untuk mencoba menerima permasalahan teman kita dengan melihat keseluruhan pribadi teman kita, kelebihan dan kekurangannya. Pun saat memberikan beberapa solusi, maka haram hukumnya jika kita memberikan alternatif berdasarkan parameter diri kita. Parameter seharusnya ada pada teman kita, klien kita, karena masalah terjadi pada dirinya, tidak pada kita. Kita seharusnya menanggapi sesuatu berdasarkan background yg tepat atas diri teman kita. Okay, masalah direct judgement ini tidak terlalu parah, karena tindakannya nyata dan langsung face by face dengan teman kita. Masih bisa disadari dengan cepat-setidaknya.

Yang sedikit mengkhawatirkan adalah saat kita men-judge teman kita dengan perantara atau yang bisa kita sebut indirect judgment. Hujatan paling kasat mata adalah saat kita bercerita mengenai sosok teman kita yang lainnya. Misalnya : “Iya, si X itu pengertian banget, dan aku cepet klop kalo ngomongin hal2 gini ke dia...”. Atau.....”kalau di kos nya seru lho....”. Well, do u feel somthing hurt? Feeling lil bit sad? Kalau iya berarti anda sudah paham, judgement apa yang saya maksud di sini. Kalau belum, well.. let me explain. Kalau saya berada pada posisi yang diajak ngobrol, maka saya akan berpikir, lalu...apakah saya cukup pengertian juga, atau cukup nyambung juga untuk diajak ngobrol? Hmm. Do u get it? Perasaan itu lho, yang saya maksud. Memang teman kita tidak serta merta mengatakan bahwa kita lebih tidak pengertian dibanding si X, atau kita tidak nyambung , dsb. Tidak, no one stated like that. Akan tetapi kata-kata itu terkadang bisa membuat orang yang mendengar kurang nyaman dan jadi ingin tahu bagaimana halnya dengan dirinya.

Dan kesalahannya adalah kalau intensitas kita menceritakan orang lain pada teman kita, tanpa diiringi dengan penceritaan tentang teman kita juga, akan sangat membuat pertemanan menjadi tidak 'klik'. Ada hambatan 'jenis pertemanan sukses lain' yang justru akhirnya menghantui pertemanan kita dengan teman kita itu sendiri. That's why, kita seharusnya berusaha untuk tidak terlalu subjektif saat berinteraksi dengan teman kita, kita harus buka daun telinga lebar-lebar, pakai hati nurani, pakai six sense kita, intuisi kita, apakah sesuatu yang sudah kita ucapkan, kita lakukan pada teman kita menghambat kreatifitasnya (hah? Maksud loe?). Ya, jadi apa itu menyakiti perasaannya atau nggak gitu maksudnya, membuat dia bingung bersikap atau menempatkan dirinya saat bersama kita atau tidak, dan apakah kita sudah cukup wise saat berkomunikasi dengan teman kita. Punya teman saja sudah untung, sudah selayaknya kita perlakukan sahabat atau teman kita dengan sebaik-baiknya. Kufur nikmat deh kalau kita mengobral pertemanan kita hanya demi sesuatu yang bernama nafsu berkomentar.

Just shallow thought

-at 25/07/09, 01.19 am, ga bisa tidur-

Tidak ada komentar: