Rabu, 15 Desember 2010

It's called a TEAM...!

Menjadi koordinator dalam sebuah kegiatan psikososial bukan suatu hal yang mudah tapi gak susah2 banget juga. Di situ aku bener2 belajar yang namanya ‘membaca orang’ dan ‘memfasilitasi tim’.

Dan tentu saja, belajar menjadi orang yang selalu update dengan hape.

Wuh, ini yang paling susah!-.-“

Mengingat track record saya yang suka ‘meninggalkan hape di sembarang tempat’ membuat saya sedikit kesulitan untuk cepat bales sms apalagi angkat telp.

Dan mungkin itu alasan yang tepat bagi mereka untuk melempari saya dengan uang (baca: sendal)!haha. seribu maaf dah!

Nah, balik lagi ke tim. Hal yang harus kita yakini saat berada dalam tim, atau membentuk sebuah tim yaitu menerima kesempurnaan individu dengan lapang hati. Bukankah manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah? Jadi positive thingking lah dulu pada anggota tim kita. Tim ada bukan untuk memaksa seseorang berbuat seperti yang dimaui salah satu pihak. Bukan karena paksaan supaya berbuat lebih, atau malah dituntut dan lain2.

Apalagi sebuah tim relawan, mereka ada karena keinginan masing2. Kerelaan tiap individu, dan itu patut dan harus dihargai. Kesamaan kerelaan itu setidaknya memberi sebuah ikatan kebersamaan dalam sebuah tim. Maka jangan sampai kita merusak sisi natural sebuah tim relawan dengan paksaan ini dan itu. Dengan doktrin kegiatan ini dan itu. Kalau lah saya menjadi seorang koordinator, maka tidak seharusnya saya mencekoki mereka dengan program yang saya pikirkan. Berdayakan makhluk sempurna itu. Mereka punya otak. Mereka berpikir, mereka merasa. Jadi berdayakan mereka, atau kalau mau ambil istilah psikologi yaitu ‘empowerment’. Penguatan satu sama lain. Ini lebih humanis.

Heu. Tapi menjadi seorang yang diktator adalah godaan besar dalam sebuah koordinasi tim. Ego saling muncul tenggelam untuk memenuhi kebutuhan id akan eksistensi. Dan gara2 satu kata itu, ‘eksistensi’ bisa menghancurkan sebuah tim. Bisa terjadi jika tidak ada upaya empowerment eksistensi semua anggotanya.

Maka.

Menjadi eksis dan tampil menurut saya bukan lah suatu keharusan dalam sebuah amal jama’i. Yang paling penting itu kebersamaannya menurut saya. Penguatan satu sama lain. Kalo mo eksis sendiri lalu buat apa sebuah tim ada.

Ada jabatan2 yang memang menuntut seseorang tidak menjadi eksis secara ‘publikasi’ sehingga kerja2 nya tersembunyi.

Ada yang memang selalu tampil dan ‘terpublikasi’ oleh mass media. Kebanyakan milih peranan yang kedua (kalo saya lihat2 sepanjang sejarah organisasi yang sering saya ikuti sih). Hal2 sepele kayak jadi sie acara adalah salah satunya. It seems like sie acara adalah yang paling tinggi gradenya dibanding sie2 lain. Yah begitu pendapat temen2 saya tiap ngomentarin orang lain yang jadi seksi acara. Kata mereka:”pasti orang penting deh”. Miris deh hati ini mendengarnya.

(bersambung..=.=)

Tidak ada komentar: